Banyak pihak menyebutkan bahwa menjadi seorang milenial itu menyenangkan dan mengasyikkan, justru enerasi inilah, yang melihat dan bahkan membuat banyak penemuan terbesar dan kemajuan teknologi yang mengubah cara orang hidup di seluruh dunia, tetapi sebenarnya generasi ini menghadapi masalah yang mengancam jiwa.
Dikutip dari Blue Cross Blue Shield (BCBS) memerkirakan, generasi milenial kemungkinan meninggal dunia lebih muda daripada generasi lain, karena masalah kesehatan yang semakin meningkat dan melambungnya biaya perawatan kesehatan, sampai saat ini, orang-orang berusia 30 hingga 39 tahun, memiliki risiko lebih rendah pada kematian akibat penyakit jantung dan kanker, yang mana ini telah memengaruhi Gen X.
Tekanan psikologis
Dengan standar terlampau tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain berisiko bagi kesehatan mental generasi milenial, justru perilaku pengguna media sosial yang kerap menampilkan gaya hidup ideal, pasangan ideal, tubuh, wajah, dan gambaran kesempurnaan lainnya kian memperparah kondisi ini.
Akibatnya, muncul ilusi kompetisi yang akhirnya membuat generasi milenial terdorong untuk mengejar hal yang tak mungkin mereka capai, yaitu kesempurnaan, rasa "kompetisi" ini muncul saat generasi milenial temannya berhasil dan sukses, sehingga mereka terdorong untuk berusaha keras agar lebih sukses.
Sayangnya, masih ada langit di atas langit bukan, tetapi, dorongan untuk lebih sukses itu masih ada. hingga di titik tertentu, seorang yang perfeksionis akan merasa berbagai usahanya masih kurang, dan siklus ini akhirnya bisa menyebabkan depresi.
Permasalahan ekonomi
Tak hanya tantangan teknologi dan sosial, generasi milenial pun menghadapi tantangan lainnya yang tak kalah pelik, yaitu ekonomi, tingginya urbanisasi membuat lapangan kerja terpusat di kota-kota besar, sehingga persaingan kerja bagi generasi milenial saat ini makin kompetitif. dimana sistem pendidikan saat ini pun tidak bisa sepenuhnya menjawab tantangan persaingan tenaga kerja saat ini.
Belum lagi generasi milenial terancam tak bisa memiliki rumah karena ketimpangan antara harga rumah dan kemampuan finansial, karenanya berbagai tantangan ekonomi ini kerap menjadi tekanan bagi generasi milenial, hingga memicu stres, dan akhirnya berisiko menjadi depresi.
Negatifitas informasi yang santer tersiar
Dengan internet, generasi milenial memang bisa mendapat informasi dengan cepat, sayangnya itu juga berarti generasi milenial lebih rentan terpapar berbagai informasi negatif dari seluruh dunia dalam waktu bersamaan, media massa turut berperan sebagai faktor pemicu depresi, terutama media yang kerap memberitakan peristiwa negatif.
Sebagai contoh berita tentang alam Indonesia yang kian rusak, perang dunia, terorisme, bencana alam, korupsi, dan isu mengkhawatirkan lainnya, hingga apabila seseorang terpapar informasi negatif secara terus menerus, bukan tidak mungkin dia akan lebih rentan stres hingga depresi.
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang membuat generasi milenial rentan memiliki kesehatan yang lebih buruk adalah karena faktor tekanan psikologis dari masalah-masalah seperti pekerjaan, hubungan asmara, ekonomi serta dampak media sosial, mengurangi ketergantungan teknologi dan pergaulan daring adalah cara terbaik untuk meminimalisir risiko penyakit radiasi perangkat elektronik.
Justru sebagai generasi yang melek teknologi, seharusnya para milenial mulai menyadari bahwa kesehatan kini bisa di raih dengan kemudahan berolahraga dari instruktur daring seperti di kanal youtube, dan membeli asuransi jiwa, terkhusus bagi sandwich generation yang memiliki tanggung jawab besar, agar jika terjadi sesuatu, ada pihak yang memberikan perlindungan jaminan finansial, yaitu perusahaan asuransi.(Arm)