Memilih jalan hidup dan berkarir sebagai investor tentu bukan perkara mudah, karenanya yang dilihatnya tidak hanya mengenai perhitungan, untung-rugi, padahal optimisme dan self control terhadap apa yang akan di investasikannya, adalah hal lain yang dibutuhkan.
Meski begitu portfolionya juga tidak terlalu terang benderang, bahkan harus kritis sampai tahap skeptis juga terhadap pasar yang tampaknya sedang berjalan normal.
Sampai melantainya suatu emiten di bursa saham, maka akan terjadi polarisasi bagi para trader atau perusahaan sekuritas, ambil saja contoh saat Bukalapak menjelang IPO dengan kode emiten BUKA.
Baca Juga : Mengenal ARA dan ARB Saham
Saat itu BUKA menjadi primadona baru bagi para investor, karena beranggapan pertumbuhannya yang akan pesat, meski begitu terdapat pula yang menganggapnya risiko besar, berkaitan dengan fundamental keuangannya yang belum juga mendapatkan keuntungan, sehingga menjadi saham yang di borong para pialang spekulan.
Berbeda pandangan lain dari pakar growth dan value terhadap investasi yang secara skeptis, atau secara historis belum terdapat satu dari tech company yang telah IPO dan mendapat laba bersih.
Berdasar laporan keuangan Bukalapak tiga tahun belakangan, perusahaan e-commerce ini telah mencatat rugi yang menyampai Rp 2,2T, 2,8T hingga Rp 1,3T di waktu yang berturut-turut.
Jika hanya memperhatikan angka-angka diatas, tentu relative valuasi dari perhitungan tersebut yang akan dipakai adalah seperti EV, sedangkan PER dan PBV tidak akan relevan.
Lalu, pertanyaannya adalah, apakah para investor harus menunggu sampai sebuah usaha bisnis mempunyai garis bawah yang positif, kemudian layak di investasi ? berbanding terbalik dengan pertumbuhan yang signifikan di top lines
Maka untuk menyikapi optimisme pemilik usaha startup dan euforia publik tentang berita IPO yang positif, tentu kita harus juga memperhatikan faktor Gross Merchandise dari Value-GMV, dan Total Processing Value-TPV juga revenuenya.
Antusiasme lain ketika menerima kabar startup yang IP adalah, berkaitan dengan produk lokal atau karya anak bangsa, yang tak lain sebagai investor kita turut mendukungnya, berkaitan dengan rivalitas kehadiran Alibaba dan Tencent.
Berkaca dari perjalanan Tencent dan Alibaba membuat kita para investor untuk lebih menyadari bahwa kemungkinan besar, startup yang IPO ada kesempatan untuk terus bangkit, meski jika melihat Alibaba dalam 3 tahun sebelum IPO sudah bisa mencetak laba bersih.
Pada 12 bulan yang berakhir pada 2012, 2014 dan 2014 laba bersih Alibaba mencapai 682Juta USD, 1,33Juta USD, dan 3,72Juta USD, ditambah sejak IPO hingga terus mengalami kenaikan.(Arm)