Bisnis startup menjadi hype meski pada akhir 2000 lalu pernah mengalami bubbling, namun tidak membuat para investor pro surut, karena keberhasilan Zuckerberg, Saverin dkk atas sosial network facebooknya, di susul Jawed Karim dengan youtube yang akhirnya di akuisisi oleh Google, Jack Ma dengan alibaba, Peter Thiel dengan Paypal yang kemudian di akuisisi oleh mas elon (elon musk).
Ketenaran Silicon Valley menjadi inspirasi dunia, semua investor tidak ingin kecolongan momen seperti kejayaan para Decacorn terdahulu, begitupun dengan para Founder startup yang semakin antusias untuk terus menciptakan sebuah produk digital untuk bakal calon perusahaan rintisan, bermacam bisnis core bermunculan, dan jenis apps pun makin gencar saling 'curi' perhatian user, tak ketinggalan di Indonesia.
Di balik keriuhan kompetisi unicorn yang mengincar fenomena IOT dan Industry 4.0, masih terselip ketakutan para pemerhati ekonomi, yaitu adanya valuasi bubble, kondisi dimana perusahaan dengan nilai tinggi, namun sama sekali tak memiliki aset, yang kemudian disusul melantai di bursa saham, emiten yang di belinya mahal, namun lambat laun harganya pun jatuh.
Trend Bakar Uang
Dengan bertujuan disruptive, produk-produk startup berebut pelanggan dengan gencarnya promosi di segala media, tak jarang anggaran promosinya hingga membuat defisit neraca keuangan perusahaan, pada periode ini, startup seringkali mentargetkan pencapaian pengguna, menjangkau investor, menjaga customer lifetime value, sehingga anomali yang nampak di sini adalah, rasio keuangan yang di hitung berdasar laba-rugi menjadi tidak lagi relevan, sedangkan dari kacamata investor lebih melakukan penilaian atas prediksi growth masa depan.
Investor atau Spekulan
Berdasar kejadian startup WeWork pada 2019 lalu dengan core bisnis applikasi online yang menyediakan informasi ruang kerja, terancam mengalami kebangkrutan di karenakan kelalaian sang founder, sehingga harus melakukan PHK massal sebanyak 4000 karyawan di seluruh dunia, tak sampai di situ, adalah Softbank yang menjadi investor utama WeWork dan Uber tercatat merugi hingga 100 triliun rupiah yang di sebabkan turunnya valuasi 2 emiten tersebut.
Sehingga para akuntan telah memiliki sifat skeptis atas keuangan perusahaan Startup Digital ini, sehingga para investor pun juga kurang jelas visinya, apakah benar-benar bertindak sebagai investor dan bekerja sama dengan founder, ataukah hanya spekulan yang melihat Startup sebagai investasi murah untuk kemudian menjual sahamnya pada suatu kesempatan kedepan?
Menjadi Pelanggan Produk Startup Digital Berkualitas
Tak semua startup digital terancam mengalami bubble valuasi, asal memiliki core bisnis yang jelas, terlebih bagi perusahaan yang mempunyai pondasi di bisnis konvensional, namun berusaha menjangkau pasar dari produk-produk startup digital atau mengadopsi konsep marketing dan branding seperti startup, seperti salah satunya adalah perusahaan layanan delivery cargo, perusahaan telekomunikasi BUMN yang menjangkau customer startup, sampai perusahaan pialang asuransi yang melakukan digitalisasi layanannya, sehingga menjadi lebih visioner dengan mengikuti trend 4.0 dan mengadopsi konsep perusahaan startup insurtech.(Arm)