Perang dagang antara Tiongkok dan negara adidaya Amerika Serikat pernah terjadi pada 2018 lalu, di masa kepemimpinan Donald Trump sebagai presiden AS, namun ancaman perang militer kini kian nyata, dimana Taiwan sebagai proxy AS karena bagi pihak Tiongkok, Taiwan harus kembali ke pangkuannya.
Namun, kita tidak akan membahas perang China Taiwan, tapi dampak yang ditimbulkannya bagi perdagangan, karena berkaitan dengan keuangan yaitu inflasi yang mengancam negara di sekitarnya, termasuk Indonesia, terlebih banyak sekali saudara sebangsa se tanah air yang bekerja di Taiwan.
Sebagai negara yang dikenal sebagai penghasil microchip terbesar di dunia, Taiwan, menjadi negara yang sangat diperhitungkan bagi industri elektronik dan sejenisnya, karena tanpa microchip ataupun micro processor, perangkat seperti telepon genggam, ataupun laptop dan komputer tidak bisa hadir.
Ketegangan yang terjadi bagi keduanya saja, sudah memberikan dampak buruk, bagi perekonomian Indonesia, jika dibandingkan pecah perangnya Rusia Ukraina, dengan hadirnya ketua DPR AS di minggu lalu, malah memicu ketegangan dua negara tersebut, dan memberikan pengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Ditambah lagi kemungkinan yang bisa saja terjadi seperti perang dagang antara China dan Taiwan, yang tentunya bisa mempengaruhi supply semiconductor, hingga biaya produksi otomotif maupun elektronik di kawasan Asia Tenggara membengkak naik, dan berdampak pada sektor bisnis dan keuangan.
Perang adalah solusi akhir bagi setiap politisi, bahkan para tentara sekalipun sebenarnya juga tidak menginginkan perang terjadi, karena bagaimanapun, peperangan hanya akan menyebabkan penderitaan dan kerugian skala besar, juga dampak buruk bagi lingkungan dan perekonomian.
Dalam dunia asuransi pun, dampak kerusakan yang disebabkan peperangan juga tidak bisa di berikan pertanggungannya karena memang masa perang adalah masa-masa sulit bagi siapapun, perang hanyalah jalan akhir apabila diplomasi mengalami deadlock, tentunya semua tidak ingin terjadi perang.(Arm)